Detail Artikel

Setelah terpilih sebagai salah satu   provinsi (bersama DKI Jakarta,  Sumatera Utara, NTB, dan NTT) untuk percontohan Kegiatan Literasi Sekolah (2015), Riau kembali beroleh kehormatan untuk program keberaksaraan.  Pada 16 Maret 2016, Menteri Kebudayaan Pendidikan Dasar dan Menengah (Menbuddikdasmen) Anies Baswedan secara resmi mencanangkan Riau sebagai provinsi literasi. Pencanangan itu juga memperkukuh sebutan Riau sebagai Negeri Sohibul Kitab.

DSC00634DSC00632

Sebelum Riau, DKI Jakarta telah mendeklarasikan diri sebagai provinsi literasi (pertama di Indonesia) tepatnya pada 27 Januari 2016. Pada hakikatnya, progam-program keberaksaraan yang melibatkan kedua provinsi itu sama bertujuan untuk menghidupkan dan membangun budaya baca-tulis. Kesamaan lainnya adalah perihal landasan hukum (Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti) dan sama diawali dari pelajar yang kemudian menjalar ke masyarakat luas.

Apabila dilihat mundur, gerakan keberaksaraan (sebelum penetapan Permendikbud No. 23 Tahun 2015) pun telah dicanangkan di Sumatera Barat, yaitu melalui Gerakan Nasional Melek Media. Gerakan literasi media yang merupakan proyek percontohan (pilot project) ini lebih ditujukan pada penumbuhkembangan kemampuan generasi muda dalam memilih dan memilah informasi; serta sikap kritis dalam pemanfaatan teknologi informasi. Sebagai orang yang berusaha menekuni dunia literasi, ada beberapa hal yang saya kira mesti kita kukuhkan dan tentunya menjadi pengayaan pada diskursus dunia literasi di Bumi Lancang Kuning ini.

Pertama, perpustakaan yang memadai. Kita patut bersyukur memiliki satu gedung perpustakaan megah. Tengoklah, siapa yang tak kenal dengan perpustakaan Soeman Hs? Gedung itu memiliki desain yang bercitarasakan literasi.  Gedung ini pun telah mengukir prestasi sendiri. Pada 2015 lalu, perpustakaan ini terpilih sebagai perpustakaan berarsitektur terbaik se-Asean setelah menyisihkan 19 peserta dari 8 negara Asean lainnya. Baru-baru ini perpustakaan yang lahir dari tangan arsitek Dr. Sudarto ini juga meraih prestasi Kepatuhan Pelayanan Publik pada kategori Pelayanan Kartu Pustaka terbaik dari Ombudsman Republik Indonesia. Suasana yang nyaman dengan ribuan koleksi buku membuat sesiapa pun betah untuk duduk berlama-lama di sana.

Sayangnya, situasi serupa belum ditemukan pada perpustakaan di 12 kabupaten/kota di Bumi Lancang Kuning ini. Sungguh bertolak belakang, perpustakaan-perpustakaan tersebut memerlukan pembenahan dari berbagai aspek, mulai dari gedung, fasilitas, koleksi, hingga pelayanan. Dengan penyematan provinsi literasi tersebut kita tentunya berharap ke depannya pemerintah di 12 kabupaten/kota memberikan perhatian lebih pada institusi intelektual ini.

Kedua, kampanye baca-tulis di sekolah. Sekolah merupakan lembaga yang sangat berperan dalam menumbuhkankembangkan minat baca-tulis para siswanya. Maka,  ajakan Kemenbuddikdasmen tentang 15 menit membaca – selain buku mata pelajaran – sebelum pembelajaran dimulai perlu segera direalisasikan oleh seluruh sekolah pada semua jenjang pendidikan. Sekolah-sekolah di Riau berkewajiban menyediakan perpustakaan yang representatif sebagai salah satu upaya menarik minat baca para peserta didik. Tidak ketinggalan juga peran para guru – tidak hanya guru bahasa Indonesia – untuk senantiasa mengajak para siswa membaca dan menulis.

Ketiga, penyelenggaraan bazar buku secara berkala. Bila dibandingkan dengan kota-kota besar di Pulau Jawa sana seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung; intensitas penyelenggaraan bazar buku setiap tahunnya masih rendah. Di Jogja misalnya– penulis pernah tinggal beberapa lama di sana – bazar buku hampir ada sepanjang tahun; mulai dari Islamic Book Fair (IBF), Jogja Book Fair, hingga Pesta Buku Jogja. Sementara itu, di provinsi ini jarang sekali kegiatan serupa. Kalau pun ada itu hanya berlangsung dalam skala kecil, seperti Gramedia yang menggelarnya di halaman depan gedungnya atau penerbit lainnya yang bekerja sama dengan panitia pada acara-acara tertentu. Maka, perlu kesungguhan kita (juga dukungan pemerintah daerah dan para sponsor) untuk mengadakan pameran buku dalam skala yang lebih besar dan dilakukan secara rutin setiap tahunnya. Alasannya, bazar diyakini mampu menarik minat masyarakat untuk hadir (melihat, mengenal, dan/atau membeli buku). Akan lebih menarik lagi kalau kegiatan tersebut dimeriahkan dengan beragam agenda lainnya, seperti lomba yang juga berkaitan dengan dunia perbukuan.

Keempat, memperbanyak komunitas baca-tulis. Kemampuan baca-tulis bisa bersifat individual dan/atau komunal. Yang terakhir ini mengindikasikan keterlibatan orang lain (kelompok) untuk saling memotivasi dan menguatkan agar awet. Di sinilah letak pentingnya komunitas baca-tulis di samping sebagai agen untuk mengampanyekan urgensinya. Setakat ini, cukup banyak komunitas dan organisasi kepenulisan di Riau, seperti Paragraf, Pena Terbang (Kompeter), Rumah Sunting, Rumah Kayu dan tentunya juga keberadaan Forum Lingkar Pena ([FLP] yang memiliki kepengurusan dari tingkat wilayah, cabang hingga ranting). Walaupun begitu, untuk ukuran sebuah provinsi literasi, Riau masih membutuhkan kemunculan komunitas dan organisasi kepenulisan lainnya.

Kelima, dukungan media masa dengan menyediakan kolom bagi penulis. “Jika seseorang telah mencapai tahap membaca yang tinggi maka secara langsung dia akan terpanggil untuk memindahkan ilmu pengetahuan yang telah didapatnya melalui tulisan,” demikian Buya Hamka menggambarkan tahap berikutnya dari kebiasaan membaca yang telah tumbuh. Maka, pertambahan masyarakat yang menyukai kebiasaan membaca akan melahirkan penulis-penulis baru berikutnya. Karena itu, dukungan media masa dalam bentuk pemberian ruang bagi para penulis untuk berbagi pengalaman, impian, dan cita-cita masih sangat diperlukan. (Tentunya juga dengan memberikan honor yang layak, sehingga mereka akan semakin termotivasi.) Saat ini menurut data Biro Humas Setdaprov Riau (berita online Riau Pos, 7 April 2016) ada 138 media daring (dalam jaringan [online]) dan 110 media cetak yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Riau. Bila 248 media masa ini memberikan ruang kepada para penulis (dengan berbagai genre tulisan), bisa dibayangkan pertumbuhan signifikan para penulis (dan tulisan) di negeri ini.

Keenam, pemilihan duta baca. Bila selama ini telah ada pemilihan duta bahasa yang setiap tahunnya diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Riau (BBPR), ke depannya – dengan tanggung jawab sebagai provinsi literasi – sudah saatnya juga kita melakukan pemilihan duta baca (misalnya melalui Badan Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Riau). Mereka nantinya menjadi ikon baca bagi masyarakat di provinsi ini.

Keenam hal itulah, menurut penulis, perlu kita upayakan dan perkukuh sebagai provinsi literasi, sehingga ke depannya negeri ini menjadi surga perbukuan dan gudang para intelektual.