Wely Haryani, SE., mahasiswa S2 Magister Manajemen dengan konsentrasi
Manajemen Rumah Sakit di Sekolah Pascasarjana Universitas Lancang Kuning
(Unilak), mengangkat isu strategis dalam pengelolaan pelatihan dan pengembangan
sumber daya manusia di lingkungan Biro Pengadaan Barang dan Jasa Kementerian
Kesehatan. Di bawah bimbingan Dr. Richa Afriana Munthe, S.E., M.M. dan Dr.
Imran Al Ucok Nasution, S.T., M.M., Wely menyoroti pentingnya sistem pelatihan
berbasis meritokrasi untuk mencegah ketimpangan dan meningkatkan produktivitas
organisasi.
Pelatihan dan pengembangan (Training and Development/T&D)
merupakan instrumen strategis dalam meningkatkan kualitas SDM. Namun, dalam
praktiknya, pelaksanaan T&D seringkali dipengaruhi oleh (1) preferensi
pribadi pimpinan, (2) budaya hierarkis, dan (3) loyalitas personal, bukan
berdasarkan analisis kebutuhan atau kompetensi. Hal ini menimbulkan (4)
kesenjangan akses pelatihan, (5) ketidakadilan, (6) demotivasi, dan (7)
ketimpangan kompetensi antar individu maupun divisi.
Wely mengaitkan fenomena ini dengan tiga teori utama:
- Equity Theory (Adams, 1965) – Middle-Range Theory: Karyawan mengevaluasi
keadilan perlakuan berdasarkan perbandingan dengan rekan kerja. Ketika merasa
diperlakukan tidak adil, mereka cenderung mengalami demotivasi.
- Human Capital Theory (Becker, 1964) – Applied Theory: Menekankan bahwa
investasi pelatihan harus diberikan berdasarkan potensi dan kebutuhan, bukan
preferensi personal. Ketimpangan pelatihan menurunkan kualitas SDM secara
sistemik.
- Perceived Organizational Justice (Greenberg, 1990) – Middle-Range
Theory: Karyawan yang merasa keputusan organisasi tidak adil, khususnya dalam
distribusi pelatihan, cenderung memiliki komitmen dan kinerja yang lebih
rendah.
Sebagai solusi, Wely mengusulkan pembangunan sistem T&D berbasis
(1) meritokrasi, (2) transparansi, dan (3) evaluasi objektif. Sistem ini harus
bebas dari intervensi subjektif dan didasarkan pada analisis kebutuhan
kompetensi serta prestasi kerja.
Pendapat Wely mendapat tanggapan dari Dr. Chandra Bagus, S.T., M.M.,
praktisi manajemen dan engineering. Ia menyatakan:
“Ketiga teori yang digunakan sangat relevan dan saling melengkapi.
Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana mengimplementasikan sistem merit di
lingkungan birokrasi yang masih kuat dipengaruhi oleh struktur hierarkis dan
relasi personal. Dibutuhkan komitmen kelembagaan untuk membangun sistem pelatihan
yang adil dan berbasis data.”
Dr. Chandra menambahkan bahwa keberhasilan reformasi pelatihan SDM
tidak hanya bergantung pada desain sistem, tetapi juga pada (1) integritas
pimpinan, (2) konsistensi kebijakan, dan (3) budaya organisasi yang mendukung keadilan
dan profesionalisme.